Diduga Belanja Modal Rp 2,4 Miliar Diskominfo Tulangbawang Jadi Sorotan

Tulangbawang (Suarapedia.Id) – Aroma pemborosan anggaran publik kembali menyeruak dari tubuh birokrasi Pemerintah Kabupaten Tulangbawang. Kali ini, sorotan tajam tertuju pada belanja modal peralatan studio video dan film oleh Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang mencapai Rp 2,4 miliar.
Angka fantastis tersebut dinilai jauh melampaui harga pasar yang semestinya berkisar sekitar Rp 500 juta, berdasarkan estimasi dan perbandingan harga yang wajar di pasaran.
Perbedaan nilai hingga hampir lima kali lipat ini menimbulkan tanda tanya besar, adakah efisiensi anggaran atau justru indikasi pemborosan yang berpotensi menimbulkan kerugian negara?
Dalam upaya mengonfirmasi hal tersebut, Tim Media mendatangi Kantor Dinas Kominfo Tulangbawang untuk mengklarifikasi dua poin utama:
1. Kejelasan hasil studi banding ke Kemendagri, terkait Surat Edaran (SE) serta
2. Pengadaan peralatan studio video dan film atau videotron yang menelan dana miliaran rupiah.
Kepala Dinas Kominfo Tulangbawang saat dikonfirmasi di ruang kerjanya, membenarkan adanya pengadaan videotron senilai Rp 2,4 miliar. Kamis (6/11/25).
Ia menjelaskan bahwa proses belanja dilakukan melalui sistem E-Katalog, bukan dengan mekanisme tender terbuka.
“Itu belanja melalui sistem E-Katalog, bukan tender,” ujar Nanan singkat.
Namun, ketika Tim Media meminta penjelasan lebih rinci terkait siapa pejabat teknis yang membidangi proyek tersebut, Nanan memberikan jawaban yang justru menimbulkan kebingungan.
“Boleh tanya sama Kabid saya pun juga boleh,” ucapnya dengan nada ambigu.
Pernyataan tersebut memunculkan kesan bahwa Kepala Dinas Kominfo mengetahui penuh proses internal proyek, namun berusaha mengalihkan tanggung jawab teknis ke bawahannya.
Ironisnya, ketika ditanya mengenai perusahaan (PT) rekanan yang melaksanakan pengadaan, Nanan mengaku tidak tahu dan tidak hafal nama pihak penyedia barang.
“Saya tidak pernah hafal PT. apa yang saya belanjakan,” dalihnya dengan nada kebingungan.
Nanan menambahkan, “Kalau saya melihat harga tawaran, kami juga melakukan proses banding saja. Kalau kata saya sih itu masuk aja,” jelasnya santai.
Pernyataan tersebut menimbulkan pertanyaan serius, bagaimana mungkin seorang Kepala Dinas tidak mengetahui detail perusahaan dan nilai pembelanjaan yang berada di bawah kewenangannya, padahal anggaran yang digunakan mencapai miliaran rupiah uang rakyat ?
Secara normatif, setiap pengadaan barang dan jasa pemerintah wajib menjunjung asas efisien, transparan, dan akuntabel.
Maka, selisih harga yang signifikan antara nilai realisasi dan estimasi pasar patut menjadi perhatian lembaga pengawas, baik Inspektorat Daerah, BPK, maupun aparat penegak hukum.
Dalam konteks tata kelola pemerintahan modern, penggunaan sistem E-Katalog seharusnya menjadi jaminan efisiensi dan keterbukaan harga, bukan celah untuk menggelembungkan nilai pengadaan.
Oleh sebab itu, publik layak menuntut audit terbuka terhadap belanja modal Rp 2,4 miliar tersebut, demi memastikan tidak ada praktik penyimpangan yang merugikan keuangan negara.
Transparansi adalah kunci kepercayaan publik. Dan ketika pejabat publik mulai gagap menjelaskan penggunaan anggaran miliaran rupiah, publik punya hak untuk curiga, bahwa mungkin, ada yang tidak beres di balik layar.
(Tim).




